Wednesday, July 07, 2004

visual arts

Mural Mulawarsa 2003
Farhan, ”Dan Semua Tampak Bermuka Manis”


Oleh
FRINO BARIARCIANUR

Judul di atas saya comot dari tembok tempat di mana tulisan itu berada. Dengan huruf bersambung, tulisan tersebut dapat kita temui pada tembok Jl. Martadinata seberang sebuah bangunan bank swasta di Bandung. Tidak hanya tulisan itu saja yang menarik, gambar-gambar yang memenuhi tembok itu pun tak kalah dalam memancing perhatian. Tapi apa maksudnya?

Adalah Farhansiki atau yang lebih dikenal Farhan laki-laki usia 31 tahun yang membuat teks dan gambar-gambar mencolok itu. Ia termasuk salah satu perupa yang berkarya di ruang publik khususnya mural (lukisan dinding). Ia pernah melakukan hal serupa di Jakarta lebih-lebih di Yogyakarta tempat di mana ia bereksplorasi habis-habisan bersama kelompok Apotik Komik.

Di Bandung sendiri, ini kali keempat ia ”bermain” di ruang publik. Pertama ia tampil pada acara Bandung Art Event, 2001 dengan judul Sekutu Sespecies. Kedua ia menggambari tembok di lorong Gramedia Bandung dengan judul Pseudo bla..bla..bla. Ketiga bersama teman-temannya di Kopipait Art Society dan 1011 Visual Ar saat menggambari tiang-tiang listrik dan rambu lalu lintas dengan gambar bunga. Return to Kota Kembang demikian kegiatan itu diberi nama.

Apa yang dikerjakan oleh Farhan adalah salah satu bentuk karya rupa yang dikenal dengan mural. Berasal dari bahasa Latin murus yang berarti dinding. Jadi mural adalah lukisan yang dibuat pada dinding. Ekspresi seni ini setidaknya telah ada 30.000 ribu tahun lalu, awalnya dijumpai pada dinding-dinding gua. Lukisan dinding tertua di Altamira, Spanyol atau Lascaux, Prancis misalnya menggambarkan aktivitas perburuan dan ritual kehidupan.

Sementara itu sekitar tahun 1920-1930-an, di Meksiko mural dijadikan salah satu alat propaganda politik yang cukup mumpuni di masa-masa revolusi. José Diego Rivera Barrientos atau yang lebih dikenal dengan Diego Rivera, suami pelukis Frida Kahlo, adalah salah satu tokohnya yang berperan besar membawa lukisan dinding sebagai salah satu karya rupa yang diperhitungkan dalam sejarah seni rupa dunia.
Balik lagi ke Farhan. Mungkin Farhan termasuk orang yang cepat bosan. Karena itu di atas lukisan dindingnya, ia menggambar lagi. Tak syak lagi, sejak tanggal 5 Januari lalu lukisan dinding ”Sekutu Sespecies” hilang dari mata orang yang telah akrab sejak tahun 2001. Beruntung Farhan memiliki dokumentasi yang rapi.

Kenapa ia mau menggambari lukisannya lagi? Farhan merasa lukisannya sudah membosankan dan ia memiliki tanggung jawab untuk mengubahnya segera, ”Publik sudah bosan dengan karya saya, jadi perlu sentuhan baru dan menyegarkan bagi publik,” ujar laki-laki berkulit hitam itu saat ditanya.

Tidak cukup sampai di situ, ”Kalau toh akhirnya lukisan ini ada yang mencorat-coret karena nggak suka, ya itu risiko. Ini konsekuensi logis yang harus diterima oleh siapa pun yang bermain di ruang publik. Tembok ini bukan milik saya tapi milik publik.” Jadi menurut Farhan siapa pun yang mencoba-coba ”bermain” di ruang publik akan selalu berhadapan dengan berbagai risiko. Dan tentunya lukisan yang ia buat pun sangat terbuka untuk direspons oleh siapa pun.

Lukisan dinding karya Farhan memiliki tiga bidang dengan ukuran kurang lebih 2,5 X 9 M. Ada tiga warna yang mencolok Merah, Kuning dan Biru. Di satu bidang terdapat gambar orang yang seperti sedang mengintip. Di wajahnya terdapat banyak bunga namun di setiap bunga terdapat gambar-gambar ulat. Bunga-bunga itu seperti menutupi ulat-ulat tersebut. Begitu juga dengan gambar buah, daun dan gambar wajah lainnya, selalu ada gambar ulat. Dengan gambar dan warna-warna yang mencolok yang tampak ”manis”, di gambar itu pun sebenarnya terdapat kesan mengerikan. Mungkin Anda bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada wajah Anda?
Mungkin pada lukisan dinding awal tahun (mulawarsa) 2003 ”Dan Semua Tampak Bermuka Manis” tersebut Farhan sedang merepresentasikan tentang fenomena masyarakat kontemporer yang berlagak manis padahal buas, pura-pura nggak ada apa-apa padahal menyimpan seribu problema. Tampak riang gembira padahal dalam kondisi kesakitan persis seperti kondisi bangsa ini yang tampak nyaman-nyaman saja, adem ayem saja di tengah sakit akut dan ancaman gulung tikar di tengah ancaman globalisasi.

Lalu kata Farhan, ”Semua saya nyatakan dengan visual yang ‘bagus’ (ia meminjam impresi orang-orang yang bilang lukisannya ‘Alus pisan euy!’) dan cukup representatif bagi sebuah atmosfer urban seperti Bandung yang cuek, modis, Paris van Java dan sebagainya.”
Hal-hal yang tampak ”bagus” itu kemudian secara halus ia kritik. Ia seperti ingin mengajak penikmat lukisannya untuk kembali mencermati yang terjadi dalam diri manusia. Tapi ia bukan alim ulama yang sanggup mengatakan hal-hal yang benar atau salah secara lugas. Atau mengatakan, ”begini lo yang benar.” Sebagai seorang seniman Farhan hanya mengeluarkan segala uneg-unegnya dalam bentuk rupa yang kadang sulit untuk diterjemahkan.
Bagi peraih Saraswati Prize dari Walikota Denpasar (1997) ini, berkarya di ruang publik sangat mengesankan. Harus pintar-pintar berstrategi dan bereksperimen, jika tidak tentu apa yang dilakukan Farhan akan bertabrakan dengan konsensus yang berlaku. Begitu juga dengan visualisasi wilayah di mana lukisan dinding dibuat. Saat menggambari tembok ia terlebih dulu berdialog dengan orang-orang setempat dalam membaca, menandai dan memaknai sebuah ruang dengan segala isi dan fenomena yang terjadi di tempat di mana ia akan berkarya. Ini sebenarnya untuk memudahkan proses berkarya di ruang publik.

Di sisi lain, karya seni di ruang publik menurut Farhan akan kehilangan kesakralannya, ia tidak lagi high art, adiluhung seperti di galeri atau museum yang setiap pengunjungnya sudah berbekal asumsi bahwa apa pun yang dilihatnya nanti adalah karya seni yang high-art meski itu seonggok sandal jepit yang di-displayed manis saja. Di ruang publik inilah seni high-art atau monumental sekalipun akan menemui ajalnya. Di ruang publik seorang perupa yang sangat terkenal sekalipun bisa dikejutkan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa di tengah masyarakat luas, ia hanyalah orang biasa dan hanya memfasilitasi terjadinya pertemuan bersama.

Dan kata Farhan lagi,”Ini adalah risiko bagi seorang seniman yang bermain di ruang publik, ia harus mendatangi, menyapa dan berbagi dengan publik. Jika tidak, mundur saja, sendiri di kamar dan bersiap menjadi SAMO (same old s***), begitu kata Jean Michelle Basquiat.”


Penulis adalah penikmat karya seni dan pelaku seni rupa pertunjukan di ruang publik


* Pernah dimuat di Koran Sinar Harapan, 2002 (maaf lupa tanggalnya)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home