Saturday, July 03, 2004

visual arts

Daming dan 2568 Pas Foto KTP


Oleh : Frino Bariarcianur


Klik! Dunia fotografi itu ditekuni oleh Daming Agus sejak tahun 1995 secara otodidak. Klik! Daming kerap hadir untuk mendokumentasikan setiap event-event kesenian di Bandung, ia juga memotret karya-karya seniman. Klik!Dari sekian lama prosesnya menggeluti dunia fotografi, kini ia menyuguhkan sekitar dua ribu lima ratus enam puluh delapan pas foto. Klik! Apa yang ditawarkan Daming?

Karya foto yang ditampilkan Daming pada pameran bertema ID adalah pas foto penduduk Kecamatan Tanjungsiang, Subang, Jawa Barat. Daming mendapatkan proyek ini untuk keperluan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Foto-foto berukuran 4 x 6 cm, ada pula yang berukuran 3 x 4 Cm. Semuanya ditempel di dinding Galeri Fabriek Bandung (sekaran Galeri ini almarhum, hiks). Keseluruhan foto dicetak hitam putih.

Dalam pernyataan tertulisnya Bambang Subarnas, kurator pameran ID, mengetengahkan beberapa pertanyaan mendasar dari hasil foto Daming. Mungkinkah ini sebagai representasi antropologis masyarakat Tanjungsiang? Mungkinkah ini sebuah refleksi filosofis antara kedirian dan ke-masyarakatan? Ataukah ini sebuah fenomena visual dalam lembaga seni?

Apa yang dilakukan Daming saat ini memang banyak menawarkan diskursus yang menarik untuk kemudian dijadikan referensi dalam berbagai hal seperti yang diutarakan oleh Bambang. Foto-foto ini juga seperti ingin mengingatkan kembali pada kita tentang ragam budaya berikut ragam permasalahan di Indonesia, khususnya di daerah Subang.

Sekurang-kurangnya kita tahu, dengan foto yang ditampilkan oleh Daming bahwa memiliki KTP atau kartu identitas (kartu nama) itu masih penting bagi sekian banyak orang sebagai anggota masyarakat, institusi atau warga negara. Alih-alih ada pernyataan yang cukup lugas bagi pemegangnya yakni eksistensi.

Hal lainnya bahwa tugas memotret atau mendokumentasikan itu juga sama pentingnya dengan orang yang sedang ber-peristiwa. Bukan sekedar pelengkap saja. Kalau melihat kenyataan sekarang khususnya di Indonesia masih banyak yang menganggap kerja pendokumentasian tidak begitu penting. Salah satu contoh yang sering terjadi ketika orang ingin melakukan penelitian. Banyak sumber yang tidak dapat tergali atau hilang tak berbekas. Sehingga pada titik ekstremnya dengan sumber data (baca: dokumen) yang terbatas menyebabkan hasil penelitian menjadi sulit dipertahankan.

Berhadapan dengan karya Aming, foto-foto itu pada awalnya dimaksudkan untuk dokumen penting bagi seseorang namun ternyata hasil pendokumentasiannya itu dapat pula menjadi barang berharga di wilayah lain, seni misalnya. Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Daming seperti kata pepatah, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Bukankah ini patut diacungkan jempol?

Kembali lagi ke foto Daming. Lihatlah foto itu dengan teliti. Kita bisa tersenyum sendiri melihat orang-orang yang terekam dalam lensanya. Kemudian membayangkan bagaimana saat Daming sekiranya harus mengatakan,”lihat ke kamera”, “senyum”, “satu..dua..tiga…” –seperti yang dilakukan banyak fotografer—untuk ribuan orang! Sepertinya mudah. Klik! Alhasil tetap saja ada yang melihat ke samping. Ada yang melihat ke bawah dan tidak sedikit matanya yang terpejam.

Pada salah satu foto misalnya, terlihat seorang nenek tua berumur kurang lebih 60 tahun yang memandang –lensa Daming—dengan mata yang lugu. Kerutan di sekitar dahi, mata, maupun pada bagian leher yang urat-uratnya terlihat jelas. Dengan pipi yang peot dan kondisi seperti itu, nenek tampak kurus. Nenek itu mengenakan baju tradisional, kebaya Sunda. Khas gambaran nenek-nenek.


Sementara background foto tercetak gorden bermotif bangau terbang.
Kiranya kita hanya bisa menduga-duga apa yang dialami nenek itu selama hidupnya. Apakah dia bahagia, menderita, atau tidak memiliki permasalahan sedikitpun –tentu tidak mungkin--. Kita hanya menduga apakah foto-foto yang dibuat oleh Daming benar-benar dapat menyentuh rasa kemanusiaan, sama seperti para fotografer yang mendapatkan pulitzer saat merekam sebuah peristiwa. Yang menginginkan fotonya bicara tentang perang, perdamaian, kemiskinan dsbnya.

Saat foto-foto itu terpajang di Galeri Fabriek yang berukuran 9.5 x 17 meter (161 m2), ruangan tetap lengang. Hanya angin membentur atap yang menimbulkan suara. Seperti ingin menyembunyikan ribuan permasalahan dari setiap orang dalam foto. Diantara ribuan foto itu ada senyum yang polos tapi ada pula senyum yang dipaksakan, ada derita yang ditutupi tapi ada pula yang jelas kentara. Ada kenyataan yang direkayasa di depan kamera.

Disamping Daming, pameran ID juga menampilkan karya-karya Hari Pochang. Salah satu pendiri Rumah Nusantara –salah satu tempat kegiatan kebudayaan di Bandung– yang memotret sejak tahun 1982 ini menyuguhkan foto-foto boneka kayu. Foto Mannequin Project 1-7 itu dicetak digital dengan ukuran 112 x 75 cm. Kang Pochang dapat juga dibilang salah seorang dokumentator senior kegiatan seni di Bandung.

Namun berbeda dengan Daming tulis Bambang, Harry Pochang, justru memulai karyanya dari tema. Oleh karenanya keputusan karya yang tampil pada pameran ini berada dalam kerangka referensi Pochang tentang identitas. Dalam perkiraan Bambang bisa dipastikan bahwa identitas yang dikerangkakan oleh Pochang cukup kompleks.

Dengan menampilkan foto boneka kayu –yang biasa digunakan untuk pelajaran argonomi dalam disain produk—diandaikan dapat menunjukkan sifat sifat industrial, matematis, sexless, nobody dll, sebagai kontras bahkan oposisi dari human dan identitas human. Selain tema, ukuran dan jumlah karya kedua fotografer (seniman) juga turut mengkontraskan satu dengan yang lainnya.

Dengan kondisi seperti ini penikmat seperti diajak untuk melompat-lompat ke dalam pikiran fotografer yang kemudian mengaitkan dengan kehidupannya masing-masing. Mengutip lagi pernyataan tertulis Bambang, akan semakin kompleks.

Pertautan Fotografi dan Seni Rupa
Mentautkan fotografi dengan seni rupa, fotografi baik secara konseptual maupun secara material dalam sejarah seni rupa modern pernah dipandang ‘bukan’ seni rupa (fine art). Jejak pandangan tersebut masih terasa bahkan masih menjadi pandangan umum hingga saat ini (terutama dari kalangan fotografer).

Kini, ketika dasar-dasar seni rupa modern ditinjau lagi secara kritis baik landasan filosofis, kategori-kategori seni, hierarki estetik, dan juga medium seni rupa, fotografi mendapatkan tempat seimbang dengan karya-karya seni yang lain. Memang perjuangan yang sangat berat untuk memasukkan teknologi canggih seperti fotografi dalam narasi besar dunia seni, khususnya seni rupa. Ini juga berlaku pada seni-seni yang lain. Tapi kenyataannya segala konvensi ataupun tradisi selalu berubah seiring dengan cara pandang manusia terhadap dunianya.

Di Bandung sendiri, pameran fotografi yang bertautan dengan seni rupa telah beberapa kali dilakukan, sebut saja seniman Jepang Yasumasa Morimura, Gerhald Richter, Seno Gumira Ajidarma dan sebagainya. Selain pameran tunggal pernah beberapa kali juga diadakan pameran bersama seperti yang dilakukan oleh para ahli biologi Prancis di Galeri Soemardja dan sebagainya, ini membuktikan bahwa dunia fotografi tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang sifatnya pelengkap saja. Klik!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home