Friday, July 02, 2004

ESSAY

KEPERCAYAAN


Setelah dikejar-kejar oleh seorang perempuan cantik, akhirnya, kuputuskan juga untuk menuliskan cerita yang baru kudengar ini demi menjaga kepercayaannya. Jika Anda ingin menemukan hal baru dari cerita ini, cukupkan niatan itu. Anda takkan mendapatkannya dalam tulisan ini.

Beginilah kepercayaan itu kutuliskan,

Aku memanggilnya Lakilakilaki, memiliki penis yang masih bekerja dengan baik, rendah hati dan satu hal lagi yang selalu bikin iri laki-laki lain, wajahnya sukses alias tampan dan setia menjaga kepercayaan orang lain dan dirinya sendiri. Meski .....

Kepercayaan inilah yang nantinya membuat ia duduk termenung menyeruput kopi Lampung sembari memandang langit biru dan bertanya lagi, kenapa langit itu biru? Kenapa kopi ini harus diciptakan berwarna hitam tidak ungu? Kepercayaan inilah pada akhirnya yang membuat Lakilakilaki termangu-mangu.
Kepercayaan ini jugalah yang meyadarkan otaknya, bahwa mimpi tidak pernah berdosa, seperti mimpi indahnya saat bercinta dengan adiknya sendiri, tiap malam setiap tahun. Tapi ia tak buru-buru mengucapkan ampun untuk seluruh kenikmatan itu, ia tak pernah mengkhianati. Basah telah ada dimana-mana, di tengah, di sisi kanan, di sisi kiri, di depan atau belakang sprei. Adik perempuannya-lah yang selalu mencuci sprei itu sembari tak lupa bertanya, “Kak, ini lendir apa?”

“Inilah lendir kepercayaan,” jawab Lakilakilaki.

Ia sadar, hanya di dalam mimpi ia diberikan kebebasan untuk menciumi adiknya seperti mencium perempuan lain. Memeluk adiknya dengan nafsu yang membara seperti memeluk perempuan lain. Hanya di dalam mimpi ia bebas menjalin cinta dengan adiknya. Meski ia banyak peluang untuk merasakan seperti dalam mimpi saat adiknya yang bermata biru itu manja memeluknya. Dan dia sadar dada adiknya yang mulai mekar mampu menembus kelaki-lakiannya. Sekali lagi kenikmatan itu tak pernah ia khianati.

Sebentar... sebentar, kalian harus tahu juga bahwa ada pikiranku untuk melanjutkan mimpi Lakilakilaki menjadi kenyataan. Tapi ada keinginan lain yang lebih besar harus kutulis yakni soal kepercayaan yang setiap alinea telah kutuliskan. Karena kepercayaan itulah yang membuat adiknya dengan bebas memeluk kakaknya, bertelanjang di depan kakaknya saat mandi. Gadis bermata biru itu tahu, kakaknya tidak pernah berlaku kurang ajar meski ia diam-diam menggoda, ingin melihat reaksi kakaknya.

Ingin melihat apakah dirinya juga menarik meski itu di depan kakaknya sendiri. Ini penting untuk meningkatkan kepercayaan dirinya di dalam pergaulan, dimata laki-laki selain kakaknya. Tapi gadis bermata biru itu sempat merasakan hal berbeda tapi itu sepersekian detik. Dan tak sempat untuk mengecapnya lebih lama. Jadi pembaca terhormat kuputuskan untuk tidak melanjutkan mimpi Lakilakilaki, meski.....

Kepercayaan ini jugalah yang mengharuskannya membaca buku tentang bagaimana membuat perempuan merasa melayang-layang tanpa harus bersusah payah mengumbar kelaki-lakiannya. Bagaimana membuat perempuan itu merasa benar-benar terhormat di mata laki-laki sepertinya. Bagaimana membuat perempuan benar-benar dibutuhkan oleh laki-laki. Bagaimana membuat perempuan menjadi sangat berharga meski ia tak memiliki penis. Dia harus bisa menjadi lebih di mata perempuan.

Pandangan dari kepercayaan ini tidak sepenuhnya benar karena Lakilakilaki tetap memandang bahwa perempuan itu merasa harus dilindungi dengan kelaki-lakiannya. Inilah sistem budaya yang telah ia dapatkan sejak kecil. Dan akhirnya membentuk pola pikir yang mengharuskan perempuan merasa nyaman dalam pelukannya. Merasa perempuan belum saatnya menikmati hidup sendiri dan harus dibantu saat mulai mengambil keputusan. Perempuan dalam pandangannya memang harus dibantu meski bantuan itu hanya untuk membuat perempuan itu tersipu dengan ucapan,”Sungguh, kamu menarik.”

Semuanya telah ia pelajari dari buku, pengalaman hidup atau mendengarkan dongeng seperti yang kutulis saat ini. Ini demi kepercayaannya yang telah begitu kuat mengakar dalam hatinya, bahwa kepercayaan itu kelak akan membuat hidupnya terasa lebih bermakna.

Kepercayaan itu jugalah yang telah menghancurkan ceritanya selama 9 tahun bersama seorang perempuan yang ia temui di seberang bangkunya, saat sekolah dulu. Perempuan itu bermata terang, berambut hitam, mencintai hasrat. Perjalanan mereka untuk usia yang demikian muda sudah terhitung panjang tanpa status resmi seperti perkawinan. Mereka hanya pacaran.

Dalam pacaran kepercayaan itu juga ada. Meski tidak ada aturan tertulis mereka harus menjaganya. Kepercayaan ini harus tetap ada karena hanya dengan itu mereka berdua bisa bicara lebih lama, dalam dan saling memejamkan mata. Hanya dengan kepercayaan hati mereka yang tersembunyi bisa diketahui. Itulah kenapa kepercayaan tidak pernah dituliskan, diundang-udangkan, atau dilembagakan menjadi departemen kepercayaan dalam suatu sistem pemerintahan. Perlu bertahun-tahun lamanya dan sulit untuk meng-universalkannya, sulit membuat sebuah standard suatu kepercayaan. Meski itu mungkin. Tetapi kepercayaan itu ada dimana-mana seperti juga anda yang memberikan kepercayaan mata Anda kepadaku melalui tulisan ini.

Mereka, Lakilakilaki dan perempuan itu, telah membingkai hubungan dengan kepercayaan yang sedemikian rupa, jauh berbeda dengan kepercayaan Anda terhadapku. Sembilan tahun kepercayaan itu tumbuh besar dan berkembang. Tapi mereka tak pernah memetiknya.

Perempuan itu telah memintanya untuk memetik kepercayaan tersebut karena kepercayaan itu telah terpelihara, terjaga dan sebagainya dengan baik. Keduanya sadar banyak resiko yang harus dihadapi. Tapi kepercayaan itu harus dipetik karena ia adalah simalakama, tidak atau memetiknya kepercayaan itu tetap menginginkan hasil dan mengorbankan hal yang lain. Bagaimanapun caranya. Perempuan itu telah membulatkan keinginan. “Inilah yang harus kita petik bersama selama ini. Jika tidak ia akan membusuk tak berguna.” Tapi Lakilakilaki, tokohku ini percaya, ini belum waktunya untuk memetik kepercayaan tersebut.

Perempuan itu memintanya karena dia telah bosan hanya memegang, mengelus, dan menyentuh pelan-pelan. Ia tak bisa melampaui mimpinya jika kenyataan itu belum ia lewati. Perempuan itu menginginkan lebih seperti ajarannya sejak kecil dulu yang menuntut laki-laki harus lebih darinya. Walau mereka berdua yang menciptakan kepercayaan itu, Lakilakilaki tidak pernah mengabulkannya. “Jika tidak kau akan merasakan akibatnya, kepercayaan ini harus dipetik. Apapun hasilnya itu!” teriaknya memecah keheningan langit.

Anda yang membaca, disini juga kalian harus tahu bahwa ada keinginanku untuk mendengar suara perempuan yang bisa memecah keheningan langit. Bagaimana raut mukanya saat berteriak seperti itu? Apakah hanya metaforku saja untuk melukiskan keinginan yang tertunda? Apakah benar ada? Atau karena ini juga cerita, aku lebih nyaman menuliskannya begitu? Tapi setelah sekian hidup, setelah jutaan kali menghirup udara dan terpanggang matahari, aku belum diberi kepercayaan itu.

Balik ke cerita, dugaannya selama ini benar, laki-laki yang mencintainya tidak akan berani memetik kepercayaan itu. Meski kejapan mata, uluran tangan, liukan tubuh, bibirnya yang merekah mengiyakan itu semua. Kepercayaan itu tak juga ia petik. Maka perempuan itu selama separuh hubungan mereka diam-diam mencari-cari siapakah laki-laki yang berani memetik kepercayaan. Walau ia harus memulainya lagi dari awal, walau ia harus tiarap, dihujani peluru untuk mendapatkannya. Dia mendua untuk kepercayaannya yang tak dihargai, dia benci karena Lakilakilaki belum percaya dengan kepercayaan yang telah mereka ciptakan.

Lantas, selama sembilan tahun waktu pacaran bingkai itu berkeping-keping jadinya. Perempuan itu pergi meninggalkan kepercayaan Lakilakilaki. Sementara laki-laki itu masih percaya kepercayaan itu harus menunggu masanya baru benar-benar dipetik. Dalam pikirannya, "kau tidak pernah sabar, wahai perempuanku."
Tapi perempuan itu menjawab dalam pikirannya," Kau terlalu sabar untuk kemanusiaan ini, wahai laki-lakiku."

Mungkin keduanya lupa setiap mereka adalah berbeda rasa yang seharusnya dikombinasikan seperti falsafah Cina atau berpola laku seperti yang diajarkan dalam Yoga India.

Sudah kubilang di awal tadi, aku ingin seperti Lakilakilaki yang mampu menjaga kepercayaan. Artinya aku baru tahap ingin dan ‘sepertinya’ adalah tidak mirip sama sekali. Jika kalian menemukan Lakilakilaki dan perempuan itu, merekalah orangnya. Ciri-cirinya sudah kusebutkan di awal cerita ini. Baik, akan kutuntaskan cerita ini.

Sembilan tahun adalah waktu yang lama untuk menjaga kepercayaan tapi adalah singkat saat mengatakan tidak ada apa-apa alias nothing alias bullshit alias taik kucing dengan kepercayaan itu. Kalian pembaca yang terhormat harus tahu ada laki-laki sepertinya, yang sembilan tahun merindukan mimpinya hadir kembali bersama adiknya, selama sembilan tahun perempuan itu telah membuka semuanya dan ia basah dicelana dan sembilan tahun itu pula ia hanya sanggup bertanya-tanya, inikah hasil kepercayaan itu?

Sembilan tahun adalah waktu yang lama untuk menjaga kepercayaan tapi adalah singkat saat mengatakan tidak ada apa-apa alias nothing alias bullshit alias taik kucing dengan kepercayaan itu. Kalian pembaca yang terhormat harus tahu ada perempuan yang sepertinya, yang merasa nyaman di pelukan laki-laki idamannya tapi tak pernah mendapatkan benar-benar kepercayaan itu. Selama itu ia telah meminta kepercayaan itu dan ia akhirnya memetik bersama laki-laki lain. Salahkah dia?

Sudah seperti yang kalian duga, kepercayaan itu bisa muncul dari apa saja, dari puji-pujian, keterusterangan, tatapan yang lama, atau dari ketidaktahuan seseorang. Dan muncul dimanapun, di ruang ICU, museum, galeri, kantor, kamar kecil, tempat pelacuran, mimbar, atau di ketiak seorang janda. Bisa jadi kepercayaan itu setinggi keangkuhan manusia, sedalam hati manusia, setipis perasaan manusia, atau setebal kebebalan manusia, entahlah. Tapi kepercayaan selalu bermata dua apakah diminta atau tidak, suka atau tidak, selalu bersama pengkhiatan.

Bandung, 14 Mei 2003

* Tulisan ini pernah dimuat di newsletter Mosaik Sastra Universitas Islam Bandung, Mei 2003

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home