ESSAY
Realitas Seni Dalam Dunia Hiper-realitas
Oleh : Frino Bariarcianur
Melihat perkembangan teknologi mutakhir abad 21, khususnya apa yang disebut sebagai teknologi simulasi, mengakibatkan terjadinya perubahan pandang dunia manusia secara besar-besaran. Dengan teknologi simulasi ini khususnya teknologi informasi dan cyberspace manusia telah mampu menciptakan berbagai realitas baru.
Realitas baru ini disebut ‘hiper-realitas dan ‘realitas virtual. Bila sebelumnya manusia dibatasi oleh berbagai kendala metafisis, transendental atau teologis, yang di dalamnya manusia tidak dapat menjangkau dunia yang ‘malampui’ fenomena fisik, maka lewat teknologi—khususnya teknologi cyberspace—berkembang berbagai klaim, bahwa manusia kini justru bisa ‘memasuki’, ‘menjelajah’ dan ‘hidup’ di dalam dunia transenden, metafisik dan teologi tersebut. Sehingga batas antara fisik/metafisik, trnasenden/imanen, antropologis/teologis kini tampak semakin melebur. semuanya bisa terjadi. Karena dengan kecanggihan teknologi setiap orang dapat menciptakan realitasnya sendiri yang dapat pula dikonsumsi oleh orang banyak.
Maka setidaknya ada tiga kategori ‘realitas’ yang dihadapi atau direpresentasikan dalam seni sekarang: pertama, realitas ‘transendental’, khususnya realitas-realitas ketuhanan. Realitas ini direalisasikan ke dalamb berbagai bentuk seni, yang di dalam sebuah ruang yang disebut ‘ruang spiritual’ (spiritual space). Kedua, realitas imanen, yaitu realitas permukaan yang bersifat konkrit. Realitas ini merupakan fenomena ruang fisik yang dapat dijangkau oleh kemampuan perseptual dan kognitif manusia. Ketiga, ‘realitas melampui’ yaitu realitas yang melampui prinsip alamnya sendiri. Diantaranya termasuk fenomena ‘realitas virtual’ (virtual reality), yaitu realitas yang tercipta dari halunisasi yang terbentuk dari ruang data di dalam komputer.
Perkembangan teknologi simulasi, seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard di dalam Simulation, telah menggiring masyarakat kontemporer pada sebuah kondisi, dimana realitas telah diambil oleh ‘model-model’ atau ‘simulasi realitas’.Sebenarnya hiper-realitas ini tidak merujuk pada realitas sesungguhnya yang umum dialami oleh manusia.
Simulasi mengancam lenyapnya perbedaan antara yang benar dan yang salah, yang asli dan yang palsu, yang nyata dan yang imajine. Simulasi adalah penyempurnaan segala sesuatu lewat teknologi, sehingga ia melampui kondisi aslinya. Di dalam hiper-realitas dunia tidak bersifat dialektik, malah sebaliknya ia menuju ke arah ekstrim yaitu ke arah superlatif : Ia lebih nyata dari kenyataan itu sendiri, lebih cantik dari kecantikan itu sendiri, lebih benar dari kebenaran itus sendiri atau lebih buruk dari keburukan itu sendiri.
Di dalam dunia hiper-realitas terjadi proses dorong-mendorong sistem atau konsep atau argumen menuju titik ekstrim, dimana sampai pada satu titik setiap sistem, konsep atau argumen tersebut telah kehilangan logika. Informasi, misalnya, berkembanga ke dalam berbagai wujud barunya sebagai “boom informasi”, yang melampaui alam, sifat atau tapal batas total yang seharusnya tidak ia leawati, yang akhirnya menghancurkan obyektif dan tujuannya sendiri.
Hiper-realitas juga merupakan satu bentuk dari apa yang disebut ‘modernitas radikal’, yaitu modernitas yang merealisasikan dan mematrealisasikan segala sesuatu yang selama ini dianggap bersifat utopis. Segala bentuk utopia telah tercapai dalam dunia hiper-realitas. Tidak ada lagi daerah angan-angan, tidak ada lagi tanah impian, oleh karena semuanya diasumsikan bisa dicapai, direalisasikan dan dapat dimatrealisasikan.
Seiring dengan perubahan cara pandang dunia manusia, seniman kini berpaling dari fenomena jiwa dan ruh, dan menaruh perhatian besar pada fenomena tubuh dan zat, dari dunia transenden ke arah dunia imanen. Subyek manusia –yang kini semakin menyadari otoritas yang mereka miliki atas pengetahuan dan alam—kini berupaya membebaskan diri mereka dari otoritas-otoritas transendental (mitos, alam, Tuhan). Dengan perkataan lain, perhatian seniman kini secara berangsur-angsur beralih dari apa yang disebut sebagai “ruang spiritual” ke arah apa yang dipahami sebagai “ruang fisik”.
Ketertarikan terhadap dimensi-dimensi fisik ini telah menjauhkan seniman dari semangat teosentrisme abad pertengahan. Gaya baru lukisan yang dipelopori oleh Giotto dan penerusnya mereflesikkan ketertarikan pada dunia fisik ini. Seniman tidak lagi melihat dunia obyek sebagai refleksi dari Tuhan, akan tetapi secara intensif menyelidiki secara empiris terhadap apa yang mereka betul-betul lihat secara konkrit.
Obyek-obyek tersebut direpresentasikan secara lebih ilmiah dan empiris, berdasarkan ukuran dan penilaian seniman sendiri, ketimbang era sebelumnya, yang sangat bergantung pada kanon-kanom keagamaan. Meskipun Giotto masih melukiskan subyek-subyek religius, ia kini secara lebih mendalam menaruh perhatian pada prinsip-prinsip bentuk fisik.
Bagaimanapun dunia hiper-realitas dan realitas virtual telah menimbulkan pergeseran pemahaman ke setiap sendi kehidupan. Khsusus di dalam dunia seni, keberadaan dunia tersebut telah memperluas pemahaman dan pengertian mengenai apa yang disebut sebagai seni atau karya seni. Dunia hiper-realitas juga dunia virtual telah memungkinkan pula penjelajahan ke dalamb berbagai kemungkinan baru ekspresi seni, yang sebelumnya tidak dapat dibayangkan di dalam dunia nyata atau realitas konkrit.
Meski menawarkan berbagai ‘realitas baru’ yang menjanjikan, dunia hiper-realitas dan realitas virtual pada kenyataannya mengandung berbagai resiko, khususnya resiko ketidakpastian makna, kemustahilan kebenaran (truth), dan disinformasi, disebabkan kondisi tanpa identitas, tanpa teritorial dan tanpa otoritas membangunnya. Salah satu problematika di dalam dunia hiper-realitas adalah meluasnya ‘kebrutalan tanda’. Pemerkosaan terhadap gambar, hibirida visual yang tidak terkendali, pemutarbalikkan fakta, perusakan ikon-ikon pada situs, simulakrum media.
Ada semacam permainan bebas tanpa aturan sedikit pun di dalamnya, yang tanpa peduli dengan makna yang ditawarkannya bagi sebuah kehidupan sosial yang bermakna. Anda seniman, sudah siap menjalani hiper-realitas itu?
(disarikan dari makalah Yasraf Amir Piliang berjudul "Rimba Raya Dunia Maya" dalam simposium “Menimbang Globalisasi Sebagai Masalah Pemampatan Ruang-Waktu di Museum Geologi Bandung, 2/9/2001)
Oleh : Frino Bariarcianur
Melihat perkembangan teknologi mutakhir abad 21, khususnya apa yang disebut sebagai teknologi simulasi, mengakibatkan terjadinya perubahan pandang dunia manusia secara besar-besaran. Dengan teknologi simulasi ini khususnya teknologi informasi dan cyberspace manusia telah mampu menciptakan berbagai realitas baru.
Realitas baru ini disebut ‘hiper-realitas dan ‘realitas virtual. Bila sebelumnya manusia dibatasi oleh berbagai kendala metafisis, transendental atau teologis, yang di dalamnya manusia tidak dapat menjangkau dunia yang ‘malampui’ fenomena fisik, maka lewat teknologi—khususnya teknologi cyberspace—berkembang berbagai klaim, bahwa manusia kini justru bisa ‘memasuki’, ‘menjelajah’ dan ‘hidup’ di dalam dunia transenden, metafisik dan teologi tersebut. Sehingga batas antara fisik/metafisik, trnasenden/imanen, antropologis/teologis kini tampak semakin melebur. semuanya bisa terjadi. Karena dengan kecanggihan teknologi setiap orang dapat menciptakan realitasnya sendiri yang dapat pula dikonsumsi oleh orang banyak.
Maka setidaknya ada tiga kategori ‘realitas’ yang dihadapi atau direpresentasikan dalam seni sekarang: pertama, realitas ‘transendental’, khususnya realitas-realitas ketuhanan. Realitas ini direalisasikan ke dalamb berbagai bentuk seni, yang di dalam sebuah ruang yang disebut ‘ruang spiritual’ (spiritual space). Kedua, realitas imanen, yaitu realitas permukaan yang bersifat konkrit. Realitas ini merupakan fenomena ruang fisik yang dapat dijangkau oleh kemampuan perseptual dan kognitif manusia. Ketiga, ‘realitas melampui’ yaitu realitas yang melampui prinsip alamnya sendiri. Diantaranya termasuk fenomena ‘realitas virtual’ (virtual reality), yaitu realitas yang tercipta dari halunisasi yang terbentuk dari ruang data di dalam komputer.
Perkembangan teknologi simulasi, seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard di dalam Simulation, telah menggiring masyarakat kontemporer pada sebuah kondisi, dimana realitas telah diambil oleh ‘model-model’ atau ‘simulasi realitas’.Sebenarnya hiper-realitas ini tidak merujuk pada realitas sesungguhnya yang umum dialami oleh manusia.
Simulasi mengancam lenyapnya perbedaan antara yang benar dan yang salah, yang asli dan yang palsu, yang nyata dan yang imajine. Simulasi adalah penyempurnaan segala sesuatu lewat teknologi, sehingga ia melampui kondisi aslinya. Di dalam hiper-realitas dunia tidak bersifat dialektik, malah sebaliknya ia menuju ke arah ekstrim yaitu ke arah superlatif : Ia lebih nyata dari kenyataan itu sendiri, lebih cantik dari kecantikan itu sendiri, lebih benar dari kebenaran itus sendiri atau lebih buruk dari keburukan itu sendiri.
Di dalam dunia hiper-realitas terjadi proses dorong-mendorong sistem atau konsep atau argumen menuju titik ekstrim, dimana sampai pada satu titik setiap sistem, konsep atau argumen tersebut telah kehilangan logika. Informasi, misalnya, berkembanga ke dalam berbagai wujud barunya sebagai “boom informasi”, yang melampaui alam, sifat atau tapal batas total yang seharusnya tidak ia leawati, yang akhirnya menghancurkan obyektif dan tujuannya sendiri.
Hiper-realitas juga merupakan satu bentuk dari apa yang disebut ‘modernitas radikal’, yaitu modernitas yang merealisasikan dan mematrealisasikan segala sesuatu yang selama ini dianggap bersifat utopis. Segala bentuk utopia telah tercapai dalam dunia hiper-realitas. Tidak ada lagi daerah angan-angan, tidak ada lagi tanah impian, oleh karena semuanya diasumsikan bisa dicapai, direalisasikan dan dapat dimatrealisasikan.
Seiring dengan perubahan cara pandang dunia manusia, seniman kini berpaling dari fenomena jiwa dan ruh, dan menaruh perhatian besar pada fenomena tubuh dan zat, dari dunia transenden ke arah dunia imanen. Subyek manusia –yang kini semakin menyadari otoritas yang mereka miliki atas pengetahuan dan alam—kini berupaya membebaskan diri mereka dari otoritas-otoritas transendental (mitos, alam, Tuhan). Dengan perkataan lain, perhatian seniman kini secara berangsur-angsur beralih dari apa yang disebut sebagai “ruang spiritual” ke arah apa yang dipahami sebagai “ruang fisik”.
Ketertarikan terhadap dimensi-dimensi fisik ini telah menjauhkan seniman dari semangat teosentrisme abad pertengahan. Gaya baru lukisan yang dipelopori oleh Giotto dan penerusnya mereflesikkan ketertarikan pada dunia fisik ini. Seniman tidak lagi melihat dunia obyek sebagai refleksi dari Tuhan, akan tetapi secara intensif menyelidiki secara empiris terhadap apa yang mereka betul-betul lihat secara konkrit.
Obyek-obyek tersebut direpresentasikan secara lebih ilmiah dan empiris, berdasarkan ukuran dan penilaian seniman sendiri, ketimbang era sebelumnya, yang sangat bergantung pada kanon-kanom keagamaan. Meskipun Giotto masih melukiskan subyek-subyek religius, ia kini secara lebih mendalam menaruh perhatian pada prinsip-prinsip bentuk fisik.
Bagaimanapun dunia hiper-realitas dan realitas virtual telah menimbulkan pergeseran pemahaman ke setiap sendi kehidupan. Khsusus di dalam dunia seni, keberadaan dunia tersebut telah memperluas pemahaman dan pengertian mengenai apa yang disebut sebagai seni atau karya seni. Dunia hiper-realitas juga dunia virtual telah memungkinkan pula penjelajahan ke dalamb berbagai kemungkinan baru ekspresi seni, yang sebelumnya tidak dapat dibayangkan di dalam dunia nyata atau realitas konkrit.
Meski menawarkan berbagai ‘realitas baru’ yang menjanjikan, dunia hiper-realitas dan realitas virtual pada kenyataannya mengandung berbagai resiko, khususnya resiko ketidakpastian makna, kemustahilan kebenaran (truth), dan disinformasi, disebabkan kondisi tanpa identitas, tanpa teritorial dan tanpa otoritas membangunnya. Salah satu problematika di dalam dunia hiper-realitas adalah meluasnya ‘kebrutalan tanda’. Pemerkosaan terhadap gambar, hibirida visual yang tidak terkendali, pemutarbalikkan fakta, perusakan ikon-ikon pada situs, simulakrum media.
Ada semacam permainan bebas tanpa aturan sedikit pun di dalamnya, yang tanpa peduli dengan makna yang ditawarkannya bagi sebuah kehidupan sosial yang bermakna. Anda seniman, sudah siap menjalani hiper-realitas itu?
(disarikan dari makalah Yasraf Amir Piliang berjudul "Rimba Raya Dunia Maya" dalam simposium “Menimbang Globalisasi Sebagai Masalah Pemampatan Ruang-Waktu di Museum Geologi Bandung, 2/9/2001)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home